Jakarta, (Sabtu 8 November 2025) - bahrinetwork ll Muncul kebutuhan akan figur “pahlawan yudisial”, yaitu aparatur yang tetap berpegang pada nilai kebenaran dan keadilan tanpa kompromi.
Sebuah negara hukum menuntut keberadaan lembaga peradilan yang kuat, independen, dan berintegritas.
Dalam sistem hukum Indonesia, peradilan berfungsi untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Sebagaimana ditegaskan oleh Lawrence M. Friedman (1975), sistem hukum terdiri dari tiga unsur penting yaitu struktur, substansi, dan kultur hukum yang hanya dapat berjalan efektif apabila dijalankan oleh aparat penegak hukum yang berintegritas dan memiliki tanggung jawab moral tinggi.
Namun, realitas sosial menunjukkan lembaga peradilan tidak jarang menghadapi tekanan politik, godaan kekuasaan, maupun kepentingan ekonomi.
Dalam kondisi demikian, muncul kebutuhan akan figur “pahlawan yudisial”, yaitu aparatur yang tetap berpegang pada nilai kebenaran dan keadilan tanpa kompromi. Kepahlawanan bukan hanya sekadar simbol ketegasan, tetapi cerminan keberanian moral dan integritas dalam menghadapi tantangan etis dalam penegakan hukum.
Konsep Pahlawan Yudisial dalam Perspektif Hukum dan Etika
Pahlawan yudisial dapat dipahami sebagai manifestasi nilai moral, etika, dan profesionalisme aparatur peradilan dalam menegakkan hukum. Ia bukan sekadar tindakan heroik, melainkan wujud dari kesetiaan terhadap prinsip keadilan dan kebenaran hukum.
Prinsip ini sejalan dengan adagium fiat justitia ruat caelum (keadilan harus ditegakkan walaupun langit runtuh), yang menegaskan keadilan merupakan tujuan tertinggi dari hukum.
Dalam konteks ini, pahlawan yudisial adalah mereka yang tetap teguh menjalankan tugasnya berdasarkan norma hukum dan hati nurani, tanpa tunduk pada intervensi atau kepentingan eksternal.
Integritas sebagai Landasan Pahlawan Yudisial
Integritas menjadi fondasi utama dari profesi hukum dan peradilan. Tanpa integritas, hukum kehilangan wibawanya, dan keadilan menjadi semu. Aparatur peradilan yang berintegritas menunjukkan konsistensi antara nilai, kata, dan perbuatan.
Menurut Treviño dan Nelson (2014), integritas mencerminkan keutuhan moral yang menjadi dasar kepercayaan publik.
Dalam konteks peradilan, integritas tidak hanya berarti menolak suap, tetapi juga menjadi pahlawan untuk menegakkan independensi berpikir dan bertindak berdasarkan hukum serta nurani.
Keberanian Moral di Tengah Tekanan
Aparatur peradilan sering berada di posisi dilematis antara tuntutan keadilan dan tekanan sosial, politik, maupun ekonomi.
Dalam situasi tersebut, keberanian moral menjadi penentu utama. Keberanian moral bukanlah keberanian fisik, melainkan kemampuan untuk mengambil keputusan yang benar meskipun berisiko secara pribadi.
Menurut teori moralitas Lawrence Kohlberg (1981), tindakan bermoral sejati lahir dari tingkat kesadaran etis tertinggi di mana seseorang bertindak berdasarkan prinsip universal, bukan sekadar kepatuhan terhadap aturan.
Dalam konteks Islam, teladan keberanian moral dapat dilihat dari Khalifah Umar bin Khattab. Dikenal sebagai pemimpin yang adil dan tegas, Umar tidak segan menegakkan hukum meskipun terhadap orang terdekatnya.
Salah satu contoh terkenal adalah ketika beliau menegakkan hukuman kepada anak gubernurnya sendiri yang melakukan pelanggaran terhadap rakyat Mesir.
Umar tidak memihak keluarganya, tetapi menegakkan prinsip keadilan sebagaimana ajaran Rasulullah SAW bahwa “Andai Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya akan kupotong tangannya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Sikap ini menunjukkan keadilan harus ditegakkan tanpa pandang bulu, meskipun terhadap orang berpengaruh atau keluarga sendiri.
Dalam dunia modern, keberanian moral juga tampak pada sosok Hakim Giovanni Falcone dari Italia. Ia dikenal karena keberaniannya melawan mafia Sisilia dalam kasus korupsi dan kejahatan terorganisir pada 1980–1990-an.
Meskipun terus mendapat ancaman dan akhirnya terbunuh karena bom yang dipasang oleh mafia, Falcone tetap teguh menjalankan tugasnya. Ia menolak tunduk pada tekanan politik maupun ancaman kekerasan, membuktikan keberanian moral seorang hakim bisa menjadi benteng terakhir bagi tegaknya hukum dan keadilan.
Dari dua contoh tersebut, dapat disimpulkan hakim yang bermoral berani menegakkan kebenaran meskipun menghadapi risiko besar.
Baik dalam pandangan Islam maupun dalam praktik hukum modern, keberanian moral menjadi fondasi utama bagi integritas seorang aparatur peradilan. Tanpa keberanian moral, hukum kehilangan ruh keadilannya, dan keadilan berubah menjadi formalitas tanpa makna.
Keteladanan Hakim dan Aparatur Peradilan
Keteladanan merupakan dimensi fundamental dari pahlawan yudisial. Hakim dan aparatur peradilan dituntut untuk menjadi panutan, baik dalam perilaku profesional maupun dalam kehidupan sosial.
Sikap dan tindakan yang mencerminkan integritas, kejujuran, serta rasa keadilan tidak hanya memperkuat legitimasi moral lembaga peradilan, tetapi juga meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum secara keseluruhan.
Bangalore Principles of Judicial Conduct (2002) menegaskan setiap hakim wajib menjunjung tinggi nilai-nilai kehormatan, kejujuran, dan keadilan dalam seluruh aspek kehidupannya, baik di dalam maupun di luar pengadilan.
Dengan demikian, keteladanan bukan sekadar tuntutan etis, melainkan juga fondasi moral yang memastikan tegaknya keadilan dan marwah peradilan di mata publik.
Dalam tradisi Islam, keteladanan hakim tercermin pada sosok Qadhi Syuraih bin al-Harits, hakim pada masa Khalifah Umar bin Khattab. Ia dikenal karena keberaniannya memutus perkara secara adil, bahkan ketika yang berperkara adalah khalifah sendiri dalam sengketa kuda. Kisah ini menggambarkan prinsip al-‘adl (keadilan) dan amanah (kepercayaan) sebagai nilai utama dalam penegakan hukum Islam.
Sementara di dunia internasional, sosok seperti Lord Denning dari Inggris sering disebut sebagai teladan karena keberaniannya menafsirkan hukum dengan berpihak pada keadilan substantif, bukan sekadar keadilan prosedural.
Ia menunjukkan bahwa seorang hakim yang berintegritas mampu menjaga keseimbangan antara hukum tertulis dan nilai moral masyarakat.
Keteladanan dari berbagai konteks tersebut menunjukkan integritas dan keadilan bersifat universal. Hakim yang berjiwa teladan tidak hanya menjadi penegak hukum, tetapi juga sebagai pahlawan penjaga moral bangsa dan peradaban.
Tantangan dan Upaya Menjaga Marwah Peradilan
Menjaga marwah peradilan merupakan tantangan besar di tengah meningkatnya tuntutan publik terhadap transparansi, integritas, dan akuntabilitas lembaga peradilan di era digital saat ini.
Di tengah derasnya arus informasi dan mudahnya opini publik terbentuk melalui media sosial, setiap langkah aparat peradilan senantiasa menjadi sorotan masyarakat.
Upaya menjaga marwah peradilan harus dilakukan secara menyeluruh dan berkesinambungan. Penguatan sistem pengawasan internal perlu diiringi dengan transparansi proses hukum dan penegakan disiplin tanpa pandang bulu.
Reformasi etika profesi harus diperkuat dengan penerapan kode etik yang tegas dan konsisten, serta pemberian sanksi bagi pelanggar untuk menegakkan keadilan di dalam tubuh lembaga itu sendiri.
Selain itu, peningkatan kesejahteraan aparatur peradilan penting dilakukan guna mencegah potensi penyimpangan, disertai dengan pembinaan moral, spiritual, dan integritas yang berkelanjutan.
Di tengah dinamika sosial dan kemajuan teknologi, peradilan dituntut untuk adaptif dan terbuka, namun tetap teguh menjaga prinsip keadilan dan kebenaran.
Dengan demikian, marwah peradilan sebagai benteng terakhir keadilan dapat terus terjaga dan menjadi sumber kepercayaan masyarakat terhadap supremasi hukum di Indonesia.
Kesimpulan
Pahlawan yudisial merupakan konsep moral dan profesional yang mencerminkan integritas, keberanian, dan tanggung jawab aparatur peradilan dalam menegakkan hukum dan keadilan.
Di tengah berbagai tekanan dan tantangan, kepahlawanan ini menjadi kekuatan moral untuk menjaga independensi serta kehormatan lembaga peradilan.
Dengan menumbuhkan nilai-nilai kepahlawanan sistem peradilan Indonesia dapat semakin kokoh dalam mewujudkan keadilan substantif yang berpihak pada kebenaran dan kemanusiaan.(Red)

Komentar0