TpO6TfClGSdiGfC8Tpz0TSd7GA==

Menjelang HUT RI ke-80, Aktivis Fithrat Irfan Ledakkan Dugaan Suap 95 Senator DPD: ‘Parlemen Sudah Diperjualbelikan!

Jakarta, Bahri Network - Sehari sebelum perayaan Hari Kemerdekaan RI ke-80, publik dikejutkan oleh pernyataan keras aktivis muda nasional Muhammad Fithrat Irfan. Ia secara terbuka menuding adanya praktik suap senyap terhadap 95 anggota DPD RI dalam pemilihan Wakil Ketua MPR unsur DPD, yang diduga dikendalikan oleh dua tokoh besar parlemen.

Dalam pengakuannya, Irfan menuding Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad dan Menteri Hukum dan HAM Supratman Andi Agtas sebagai sosok di balik operasi politik itu. Ia menilai praktik ini sebagai pengkhianatan terhadap amanat kemerdekaan dan kehormatan lembaga negara.

“Saya tidak bisa lagi diam. Demokrasi yang dibangun dengan darah para pahlawan sedang dihancurkan oleh elit rakus. Saya bersumpah atas nama Tuhan Yang Maha Esa untuk membuka semua kebusukan ini,” tegas Irfan, Minggu (16/8/2025).

Transaksi Uang Dolar di Toilet Gedung Parlemen

Irfan mengungkap bahwa pemilihan Wakil Ketua MPR unsur DPD dikendalikan untuk meloloskan putra Supratman, Abcandra Muhammad Akbar Supratman. Ia menuturkan adanya pembagian uang dalam bentuk dolar Singapura dan dolar Amerika kepada para senator di Gedung Nusantara V, bahkan ada yang dilakukan di toilet parlemen.

“Semua senator diarahkan agar patuh pada Dasco. Saya melihat langsung Abcandra menelpon Dasco lewat video call saat uang itu berpindah tangan,” ungkapnya.

Lebih Parah dari Kasus Hasto dan Lembong

Irfan menilai skandal ini lebih parah dari kasus Hasto Kristiyanto maupun Tom Lembong, karena menyangkut kehormatan lembaga legislatif. Menurutnya, hukum kini justru dijadikan tameng oleh elit untuk menutupi kejahatan politik.

“Hukum hari ini tumpul ke atas, tajam ke bawah. Aktivis dikriminalisasi karena bicara benar, sementara para penguasa leluasa mempermainkan hukum,” ujarnya. Ia juga menyinggung adanya tekanan politik dalam perebutan kursi Ketua DPD RI antara La Nyalla Mattalitti dan Sultan Bachtiar Najamudin.

Upaya Membungkam dan Ancaman Kriminalisasi

Irfan mengaku mengalami tekanan dari berbagai pihak, mulai dari oknum kementerian, aparat militer, hingga perwira Polri. Bahkan, menurutnya, media tertentu diarahkan untuk tidak memberitakan kasus ini.

Namun Irfan menantang balik, “Saya tantang Dasco dan Supratman bersumpah di atas Al-Qur’an. Kalau saya dikriminalisasi, saya siap menanggungnya demi rakyat dan kebenaran.”

Amanat Presiden yang Terinjak

Pernyataan Irfan menampar komitmen antikorupsi Presiden Prabowo Subianto. Dalam amanatnya pada 2 Juni 2025, Presiden menegaskan:
“Setiap rupiah dari keringat rakyat harus kembali kepada rakyat. Siapa pun pejabat yang mempermainkan anggaran, berarti mengkhianati bangsa dan Pancasila.”

Namun dugaan suap terhadap 95 senator menunjukkan jurang besar antara semangat kepemimpinan nasional dan praktik politik yang kotor di parlemen.

Pelanggaran Berat Konstitusi dan Hukum

Skandal ini diduga menabrak sejumlah aturan, antara lain:

  • UUD 1945 Pasal 1 ayat (3): Indonesia adalah negara hukum.

  • Pasal 22E UUD 1945: Pemilu harus dilaksanakan secara jujur dan adil.

  • UU No. 17 Tahun 2014 (MD3): Melarang suap dan intervensi dalam pemilihan pimpinan lembaga legislatif.

  • UU Tipikor (UU 31/1999 jo. UU 20/2001):

    • Pasal 5 & 6: Suap dapat dipidana hingga 5 tahun.

    • Pasal 12B: Gratifikasi tidak dilaporkan = suap ? pidana hingga 20 tahun.

Dengan dasar tersebut, kasus ini bukan sekadar pelanggaran etik, tetapi tindak pidana korupsi yang mencederai integritas parlemen dan mencoreng wajah demokrasi Indonesia.

Desakan untuk Penegakan Hukum

Irfan menuntut KPK segera membuka penyelidikan resmi, memanggil Dasco dan Supratman, serta menelusuri seluruh aliran dana yang disebutnya. Ia juga meminta Kejaksaan Agung dan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) memeriksa integritas 95 senator yang diduga terlibat.

Irfan menyerukan kepada mahasiswa, pers, dan masyarakat sipil untuk ikut mengawal kasus ini. “Kalau rakyat diam, demokrasi mati. Pers harus jadi benteng terakhir, bukan alat propaganda elit,” ujarnya lantang.

Pernyataan Irfan menjadi bom politik menjelang kemerdekaan. Bila tudingan ini terbukti, maka Senayan bukan lagi simbol rakyat, melainkan pasar gelap kekuasaan tempat mandat bangsa diperjualbelikan dengan dolar.

(Muhammad Fithrat Irfan, Aktivis Nasional)

Komentar0

Type above and press Enter to search.