Jakarta, Minggu, 10 Agustus 2025 â BahriNetWork.com |
Bagi insan pers, memahami disparitas hukum adalah sebuah keharusan, bukan pilihan. Istilah ini merujuk pada perbedaan hukuman yang dijatuhkan terhadap kasus-kasus dengan unsur dan karakteristik yang serupa.
Fenomena ini bukan mitos. Di ruang sidang, kita sering melihat dua terdakwa melakukan kejahatan yang sama, dengan bukti dan modus nyaris identik, namun vonisnya bagai langit dan bumi.
Mengapa Disparitas Hukum Muncul?
-
Subjektivitas Hakim
Meski undang-undang menjadi acuan, tafsir dan pertimbangan hakim bisa berbeda. Di tangan hakim A, vonis mungkin ringan; di tangan hakim B, hukuman bisa berlipat. -
Pengaruh Non-Yuridis
Tekanan publik, relasi kuasa, dan perbedaan status sosial-ekonomi terdakwa sering menjadi âfaktor bayanganâ yang mempengaruhi putusan. -
Tidak Ada Pedoman Pemidanaan yang Tegas
Tanpa standar nasional yang mengikat, ruang diskresi hakim terlalu lebar, membuka peluang perbedaan hukuman yang signifikan.
Contoh yang Memicu Reaksi Publik
Kasus korupsi menjadi gambaran nyata. Dua pelaku dengan jumlah kerugian negara sama sering kali menerima vonis berbeda drastis. Di sinilah lahir pepatah getir yang tak kunjung pudar: âHukum tajam ke bawah, tumpul ke atas.â
Mengapa Ini Penting untuk Disorot Media?
Disparitas hukum bukan hanya soal hitungan tahun penjara. Ia menggerus rasa keadilan, melemahkan kepercayaan publik terhadap lembaga hukum, dan menciptakan kesan bahwa hukum bisa diatur sesuai siapa pelakunya.
Bagi jurnalis, tugasnya tidak berhenti pada peliputan angka vonis. Perlu keberanian untuk menelisik faktor di balik perbedaan hukuman, demi menjaga agar hukum tetap menjadi alat keadilan, bukan alat kekuasaan.
Penulis: Syamsul Bahri
Ketum FORSIMEMA-RI
Redaksi: BahriNetWork.com
Komentar0