BahriNetwork.com | Dalam rangka memperingati Hari Anak Nasional 2025, Mahkamah Agung RI melalui Humas MA menyerukan agar pengadilan tidak hanya menjadi tempat penegakan hukum, tetapi juga hadir sebagai pelindung masa depan anak-anak, terutama mereka yang berhadapan dengan hukum (ABH). Pengadilan diharapkan menjadi tempat yang menangkap harapan, bukan menghancurkan masa depan.
Refleksi Hari Anak Nasional: Momentum Evaluasi Bangsa
Setiap 23 Juli, Hari Anak Nasional diperingati sebagai wujud kepedulian negara terhadap hak-hak anak. Tahun ini, tema yang diusung adalah “Anak Hebat, Indonesia Kuat Menuju Indonesia Emas 2045”. Namun, di tengah semarak perayaan, fakta di lapangan memperlihatkan masih banyak anak yang hidup dalam kerentanan—mengalami kekerasan, eksploitasi, penelantaran, bahkan terjerat perkara pidana.
Anak-anak yang berhadapan dengan hukum seringkali terabaikan dalam wacana perlindungan hak anak. Padahal, mereka membutuhkan pendekatan khusus yang mengedepankan keadilan restoratif, bukan sekadar pemidanaan.
UU SPPA: Prioritaskan Keadilan Restoratif, Bukan Hukuman
Melalui UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, negara telah menegaskan bahwa pendekatan terhadap ABH harus mengedepankan prinsip diversi dan restorative justice. Penahanan seharusnya menjadi jalan terakhir (ultimum remedium), bukan pilihan pertama.
Banyak anak melakukan pelanggaran bukan karena niat jahat, tetapi akibat kurangnya kedewasaan emosional dan pengaruh lingkungan yang buruk. Oleh karena itu, semua aparat penegak hukum—dari penyidik, jaksa, hakim, hingga pembimbing kemasyarakatan—perlu memahami bahwa anak adalah subjek yang masih bisa dibimbing dan diperbaiki.
Sayangnya, dalam praktik masih ditemukan tantangan besar seperti:
- Proses hukum yang tidak ramah anak,
- Minimnya ruang sidang khusus anak,
- Kurangnya tenaga ahli yang memahami psikologi anak.
Pengadilan dan Hakim: Pilar Harapan Anak
Pengadilan memiliki posisi penting sebagai pelindung masa depan anak. Dalam setiap perkara anak, hakim harus berpegang pada prinsip:
-
Melindungi Kepentingan Terbaik Anak
Hakim wajib mempertimbangkan masa depan anak, bukan sekadar unsur pidana. -
Menghindari Stigmatisasi
Putusan tidak boleh membuat anak kehilangan rasa harga diri. -
Menjadi Pembina, Bukan Penghukum
Anak bukan sekadar pelaku, melainkan pribadi yang masih bisa tumbuh menjadi lebih baik. -
Mendorong Keadilan Restoratif
Melibatkan keluarga, korban, dan masyarakat dalam proses pemulihan. -
Membangun Dukungan Sosial
Reintegrasi sosial harus didukung oleh lingkungan sekitar agar anak tidak kembali tersesat.
Child-Friendly Court: Bukti Nyata Pengadilan Ramah Anak
Sejumlah pengadilan di Indonesia mulai menerapkan prinsip pengadilan ramah anak dengan menghadirkan:
- Sidang tertutup untuk menjaga privasi anak,
- Bahasa sederhana dalam persidangan,
- Ruang tunggu yang nyaman dan tidak menyeramkan,
- Pendampingan psikolog dari pekerja sosial atau LPSK,
- Fokus pada rehabilitasi dan pembinaan sosial.
Pengalaman ini membuktikan bahwa ketika pengadilan menempatkan anak sebagai subjek pembinaan, maka ia bisa menjadi tempat yang memulihkan arah hidup anak, bukan menghukumnya tanpa ampun.
Kesimpulan: Dua Palu, Dua Pilihan
Anak-anak yang berhadapan dengan hukum bukan sekadar statistik, mereka adalah manusia muda yang tengah mencari cahaya di tengah kegelapan. Setiap keputusan pengadilan terhadap anak membawa konsekuensi besar: satu palu bisa menghancurkan harapan, sementara palu lainnya bisa membuka jalan menuju pertobatan dan masa depan.
“Mari kita ketuk palu yang kedua, palu yang menyelamatkan masa depan,” tutur Happy Try Sulistiyono, penulis dan pemerhati peradilan anak.
Dengan semangat Hari Anak Nasional, mari perkuat peran pengadilan sebagai pelindung masa depan anak-anak Indonesia. Karena anak yang diberi kesempatan hari ini, akan menjadi warga negara yang berdaya dan berakhlak di masa depan.
Selamat Hari Anak Nasional 2025!
Bersama kita wujudkan: Anak Hebat, Indonesia Kuat menuju Indonesia Emas 2045.
🖊️ Redaksi BahriNetwork.com
📍 Jakarta
Komentar0